Kisah SMIKers Menghadapi Demo Bayaran Anti-SMI

Susy Rizky

Susy Rizky: Makin kuat keinginan saya semoga Partai SRI lolos verifikasi, hingga kita bisa ikut jadi pengambil kebijakan, menciptakan lapangan kerja dan memberi kesempatan orang untuk memiliki penghasilan cukup. Sehingga tidak perlu lagi ada orang demo hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya satu dua hari.

Oleh: Susy Rizky on Thursday, November 17, 2011 at 11:54pm

Sudah hampir seminggu ini Ola, Agus, Dana, Icha dkk berkutat dengan paket-paket formulir anggota yang harus selesai dikirim sebelum hari Jumat besok, 18 November 2011. Mayoritas anak-anak ada di garasi, sebagian mengepak dan sebagian lagi memasukkan paket ke dalam 2 mobil kijang untuk di bawa ke kantor pos. Saya sendiri di ruang tengah sedang mempersiapkan surat pinjam pakai rumah di Jakarta Barat dari seorang simpatisan.

Sekitar jam 12, terdengar suara orang demo berteriak-teriak memakai toa. Kejadian biasa, karena hampir dua kali seminggu orang demo lewat di depan kantor RI1 menuju KPK. Tapi tampaknya kali ini berbeda. Suara-suara itu tidak segera berlalu.

“Sri Mulyani maling! Sri Mulyani neolib! Ini kantor Sri Mulyani antek-antek asing!”

Saya segera keluar ingin melihat siapa yang demo. Kelihatan dari garasi, 1 pick up, 1 truk terbuka bawa sound system dan satu metromini. Saya minta Aep ambil sandal saya yang bagus, menggantikan sandal jepit yang sehari-hari saya pakai di Latuharhary. Saya nggak mau kelihatan lecek di depan para pendemo ini.

Saya keluar dan bersandar di mobil menghadap mereka bersama Agus. Anak-anak yang sedang packing juga keluar dan berdiri di halaman. Saya dengarkan baik-baik ocehan mereka. Nggak banyak yang mereka ucapkan kecuali kata-kata tadi. Hilang kesabaran saya.

Saya tunjuk mereka yang ada di atas truk dan kap metromini: “Kasihan deh lo! Kasihan!!”

Mereka yang di atas mobil-mobil itu turun dan menuding saya: “Apa lo! Orang-orang bayaran! Ngapain belain maling!”

Saya gantian membalas dengan suara yang naik 2 oktaf :  “Lo tau nggak persoalan Century seperti apa? Lo tau nggak arti neolib?”

Pertanyaan saya membuat mereka semakin marah. Salah seorang pendemo dari sebelah kiri saya merangsek mendekati saya dan teriak : “Lo nggak bisa ngelawan gue!”

“Enak aja….!!” Saya bilang ke dia, “Siapa bilang gue nggak bisa ngelawan elo! Ayo lo mau apa!”

Melihat situasi yang memanas, salah seorang korlap pendemo mendekati kami yang ada di halaman berusaha melerai. Security kantor juga langsung membarikade supaya kami yang ada di halaman nggak langsung berhadapan dengan mereka.

Ketika suasana sudah reda, salah seorang pendemo berkaca mata hitam dan berbaju safari hitam memberi dua tumpuk majalah yang masih terbungkus kertas coklat. Sebelum orang itu jalan terlalu jauh, saya panggil orang itu : “Sini Pak. Bapak, sampaikan ke teman-teman Bapak ya. Kalau tidak tau masalah jangan ikut-ikutan. Jangan memfitnah. Dosa tauk!”

Sambil tertunduk-tunduk dia bilang : “Iya Bu, nanti saya sampaikan…”

Lha, penampilannya aja yang serem. Disuruh nyampein pesen dia mau. Pendemo yang aneh.

Saya minta korek api sama anak-anak. Saya bilang saya mau bakar majalah2 itu. Tapi nggak ada yang mau ngasih korek, mungkin kalau betul-betul saya bakar anak-anak khawatir akan memperuncing suasana.

Seorang korlap mendekati security dan minta supaya pintu gerbang ditutup. Sebelum itu, salah seorang pendemo yang kebagian tugas ngomong via toa nunjuk mukanya sendiri : “Ingetin nih muka gw!”, kata dia. Dalam hati, siapa elo mukanya harus diinget-inget. Geer!

Setelah hampir dua puluh menit insiden ini berjalan, akhirnya mereka berlalu. “Ayo kita ke KPK! Kita ke Busro!”, “Hoi pedagang anjing, jangan mau dagang di depan kantor maling!” Hi hi hi.. kasihan banget nih orang, udah nggak bisa ngasih lapangan kerja, orang dagang disuruh pindah. Emangnya bisa ngasih lapak baru sestrategis Latuharhary? Satu hal si pendemo nggak tau, pedagang anjing itu menyadari sejak jauh-jauh hari, bahwa Sri Mulyani adalah orang baik, jujur dan tidak bersalah.

Dari teras, Jimmy lambaikan uang sepuluh ribuan ke arah mereka. Beterbanganlah batu-batu dari atas-atas truk.:)

Pelan-pelan rombongan itu meninggalkan kantor. Rupanya rombongan mereka terdiri dari beberapa metromini dan kopaja penuh penumpang didalamnya.

Setelah mereka pergi, Nono merangkul saya : “Besok-besok jangan diladeni lagi ya Bu Susy. Perang kita bukan di sini. Perang kita nanti.”

“Thanks sudah mengingatkan, No. Tapi hari ini harus saya ladeni. Selama ini demo menentang SMI hanya kita lihat dari TV atau hanya berpapasan dijalan. Kita nggak bisa bereaksi dan melawan. Tapi hari ini saat yang tepat untuk pembalasan, karena mereka mendatangi kita. Kalau saya tidak menanggapi aksi mereka, saya nggak bisa tidur sampai malam dan menyesal berhari-hari.”

Saya sempat mengamati orang-orang yang demo tadi. Hanya beberapa orang yang vokal. Yang lain hanya diam mengamati dan lesu. Semoga Tuhan memaafkan orang-orang di kelompok terakhir. Mungkin mereka terpaksa ikut demi beberapa rupiah uang jajan.

Makin kuat keinginan saya semoga Partai SRI lolos verifikasi, hingga kita bisa ikut jadi pengambil kebijakan, menciptakan lapangan kerja dan memberi kesempatan orang untuk memiliki penghasilan cukup. Sehingga tidak perlu lagi ada orang demo hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya satu dua hari.

Semoga. Tuhan berkatilah kami.

Saya bangga, teman-teman di Latuharhary berani menghadapi situasi ini. Anak-anak perempuan garang semua. :)[sr]

* Susy Rizky adalah salah satu aktivis & pendiri SMI Keadilan yang saat ini menjabat Bendahara Partai SRI. Tulisan ini dimuat berdasarkan note berjudul “Semoga Tuhan Memaafkan Mereka”.

This entry was posted in Ekspresi Pendukung SMI. Bookmark the permalink.

1 Response to Kisah SMIKers Menghadapi Demo Bayaran Anti-SMI

  1. Suherly Harahap says:

    Ya. Semoga Tuhan mema’afkan mereka dan menjadi teman yang baik, bersilaturahmi dan bersinergi dengan Tujuan kita. Meskpin dilakukan dng Wadah yang berbeda. Boleh berbeda cara TAPi tetap satu tujuan. Hidup SRI RI 1 2014.

Leave a comment